Asas Legalitas
Asas legalitas (delictum nulla poena sine praevia lege) yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis. Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai “tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya” tercantum dalam Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP.
Tujuan yang ingin dicapai asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.
Oleh karena itu, E Utrecht (1966) mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).
Kontroversi asas retroaktif
Kontroversi asas retroaktif
Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan asas retroaktif setidak-tidaknya untuk
(1) menegakkan prinsip-prinsip keadilan;
(2) mencegah terulangnya kembali perbuatan yang sama;
(3) mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan; dan
(4) mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Biasanya azas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Aspek azas legalitas
1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang
2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi
3. Tidak boleh ada delik yang kurang jelas
4. Ketentuan pidana berlaku surut
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP ditegaskan, bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan , bahwa aturan pidana pada hakikatnya berlaku untuk masa yang akan datang ( kecuali ditentukan UU), tidak berlaku surut. Pengecualian atas larangan berlaku surutnya aturan hukum pidana dimungkinkan, apabila berlaku berlaku surutnya aturan hukum pidana tersebut untuk kepentingan (meringankan) terdakwa sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP.
5. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar