Perkembangan peristilahan tindak pidana di Indonesia
Istilah Peristiwa pidana atau tindak pidana adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda strafbaar feit atau delict. Dalam bahasa indonesia, disamping istilah tindak pidana dikenal pula beberapa terjemahan yang lain seperti:[1]
- Tindak pidana (undang-undang No.3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
- Perbuatan pidana (prof. mulyatno, pidato dies natalis universitas gadjah mada VI tahun 1955 di yogyakarta
- Perbuatan yang dapat di hokum (undang-undang No. 12/Drt tahun 1951, pasal 3, tentang mengubah ordonnantie tijdelijk bijzondere strafbepalingen)
Persyaratan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu unsur:[2]
1. Subjek
2. Kesalahan
3. Perbuatan yang bersifat melawan hukum
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana
5. Waktu, tempat dan keadaan
Persyaratan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana menurut para sarjana:
D. Simons:[3]
1. Perbuatan manusia (berbuat atau membiarkan)
2. Diancam dengan pidana ( strafbaar gesteld)
3. Melawan hukum ( onrechtmatig)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)
Van Hamel:[4]
1. Perbuatan manusia
2. Dengan melawan hukum
3. Dilakukan dengan kesalahan
4. Patut dipidana
E Mezger:[5]
1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan)
2. Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif maupun subjektif)
3. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
4. Diancam dengan pidana
Jenis-jenis tindak pidana (delik) yang dikenal
Dalam hukum pidana dikenal beberapa kategori tindak pidana:
a) Dolus dan Culpa[6]
Dolus berarti sengaja; delik dolus adalah perbuatan sengaja yang dilarang dan diancam dengan tindak pidana
Contoh:
Pasal 187, 197 245, 263, 310, 338 KUHP,
culpa berarti alpa “culpose delicten” artinya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja, hanya karena kealpaan (ketidakhati-hatian) saja.
Contoh:
Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat (4), 395 dan 360 KUHP
b) Commissionis, Ommissionis, dan Commissionis per Ommissionem[7]
Commissionis adalah delik yang terjadi kerena seseorang melanggar larangan, yang dapat meliputi baik delik formal maupun delik material.
Contoh:
· Pasal 362 KUHP
· Pasal 338 KUHP
Ommissionis adalah delik yang terjadi karena seseorang melalaikan
suruhan (tidak berbuat), biasanya delik formal
contoh:
· Pasal 164 KUHP
· Pasal 165 KUHP
Commissionis per Ommissionem adalah delik yang pada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, tetapi mungkin terjadi pula apabila orang yang berbuat ( berbuat tapi yang tidak tampak tidak berbuat)
Contoh:
Pasal 338 KUHP.
Seorang ibu yang hendak membunuh bayinya berbuat dengan tidak memberikan susu kepada bayinya, jadi tidak berbuat.
c) Material dan Formal[8]
Kategori ini didasarkan pada perumusan peristiwa pidana. Delik material adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
Contoh:
Pasal 338 tentang pembunuhan, pasal 351 tentang penganiayaan.
Delik formal adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Contoh:
Pasal 362 tentang pencurian
d) Without victim dan with victim[9]
Without victim adalah delik yang dilakukan dengan tidak ada korban, sementara with victim adalah delik yang dilakukan dengan adanya korban.
e) Delik tunggal dan adalah delik berganda (enkevoudigde en samengestelde delicten)[10]
Delik tunggal delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang
Delik berganda adalah delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan atau delik-delik yang pelakunya hanya dapat dihukum menurut suatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku tersebut telah berulang kali melakukan tindak pidana ( yang sama ) yang dilarang oleh undang-undang. Contohnya: delik yang diatur dalam pasal 481 KUHP tentang penadahan sebagai kebiasaan. Pasal 481 (1) KUHP, ”barang siapa menjadikan kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan atau menyembunyikan barang, yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
f) Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus (voorturende en niet voorturende /aflopende delicten)[11]
Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus. Contohnya delik yang diatur dalam pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan orang lain.
g) Delik aduan dan delik biasa atau bukan aduan (klachtdelicten en niet klachtdeliten)[12]
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Contohnya terdapat dalam pasal 310 KUHP tentang penghinaan, pasal 284 tentang perjinahan dan lain-lainnya. Delik aduan dapat dibedakan menurut sifatnya, yaitu: delik aduan absolut dan delik aduan relatif.
Delik aduan absolut adalah apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja, misalnya delik yang yang diatur dalam pasal 384, 310, 332 KUHP, sedangkan delik relatif adalah pengadu juga harus menyebutkan orangnya yang ia duga telah meragukan dirinya.
h) Delik sederhana(eenvoudige delicten)dan delik yang ada pemberatannya (gegualificeerde delicten)[13]
Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya delik yang diatur dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Delik yang ada pemberatnya adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok. Yang karena didalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. Contohnya delik yang diatur dalam pasal 365 KUHP
- Menurut KUHP[14]
Didalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu:
a. Kejahatan
b. Perbuatan buruk
c. Pelanggaran
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, tindak pidana itu ada dalam dua jenis saja, yaitu:
a) Kejahatan (misdrijf)
b) Pelanggaran (overtrading)
KUHP tidak memberikan ketentuan atau syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua ketentuan yang dimuat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah pelanggaran. Kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran. Selain itu terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang membedakan antara kejahatan dan pelanggran seperti:
a) Daluarsa bagi kejahatan lebih lama daripada pelanggaran pasal 78,84 KUHP
b) Pengaduan hanya ada terhadap beberapa kejahatan dan tidak ada pada pelanggaran
c) Peraturan pada perbarengan adalah berlainan untuk kejahatan dan pelanggaran
Subyek dan Obyek dari Tindak Pidana
Subjek dari tindak pidana, yaitu:[15]
a. Perbuatan orang
b. Badan hukum
c. Perkumpulan atau korporasi
Objek dari tindak pidana, yaitu:
- sifat melanggar hukum
- kualitas dari si pelaku, misalnya ”keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau ” keadaan sebagai pengurus dari sebuah PT ” di dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP
- Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sabagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Bagaimanakah suatu norma dirumuskan dalam undang-undang[16]
Pada dasarnya, suatu delik mempunyai 5 unsur, yaitu:
1. Subjek
2. Kesalahan
3. Bersifat melawan hukum
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan terhadap
pelanggarnya diancam dengan pidana
5. Waktu, tempat dan keadaan
Namun dalam perumusan pasal-pasal delik, tidak selalu kita temukan kelima-limanya unsur-unsur tersebut dalam pasal satu pasal saja, adakalanya:
1. Salah satu unsur terdapat dalam pasal-pasal terakhir dari sesuatu undang-undang.
2. Subjek dari suatu tindak pidana tidak secara tegas ditentukan dalam pasal tersebut, misalnya pasal-pasal 104, 106,107 KUHP dan sebagainya
3. Unsur kesalahan tidak dicantumkan (seperti hanya dalam tindak pidana pelanggaran pada umumnya)
4. Unsur tindakan yang terlarang belum ditentukan secara tegas (pasal 122 KUHP, pasal 124 KUHPM)
5. Hampir semua unsur tidak secara tegas dirumuskan (pasal 351 penganiayaan, pasal 134, 315 penghinaan)
6. Unsur bersifat melawan hukum tercantum secara tegas, tetapi adakalanya tidak demikian.
Umumnya perumusan suatu tindak pidana diawali dengan subyek, tetapi terdapat pula perumusan-perumusan yang tidak demikian. Unsur kesalahan ada kalanya ditempatkan pada awal , pertengahan atau pada akhir rumusan. Adanya kenyataan perumusan sedemikian itu sangat penting diketahui terutama ketika melakukan pekerjaan baik sebagai hakim, pengacara, jaksa, untuk mengetahui apakah suatu tindak pidana telah terjadi dan ada orang yang dapat dipidana karena termaksud pertangungjawabannya. Jika ternyata dalam pasal tersebut tidak lengkap kelima unsur maka harus diteliti kelengkapannya.
Perbuatan Bersifat Melawan Hukum[17]
Istilah perbuatan bersifat melawan hukum diantaranya adalah rechtswirig, unrecht, wederrechtelijk, onrechtmatig. Sedangkan dalam HR tanggal 31 desember 1919, mengistilahkan perbuatan bersifat melawan hukum sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan hukum, sedangkan moelyatno lebih cenderung dengan istilah bertentangan dengan hukum.
Arti dari perbuatan bersifat melawan hukum tersebut sesuai dengan HR tanggal 31 desember 1919 adalah tindakan yang tidak sesuai dengan hukum yang merusak hak subyektif seseorang menurut undang-undang, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban pelaku dalam undang-undang, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
Jenis-Jenis Perbuatan Bersifat Melawan Hukum[18]
Sifat melawan hukum dapat dibedakan atas:
1. Sifat melawan hukum formil
2. Sifat melawan hukum materill
1. Sifat melawan formil
Menurut ajaran sifat melawan hukum, apabila ada perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus, hanya berdasarkan suatu undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan
Hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang.
2. Sifat melawan hukum materill
Menurut ajaran sifat melawan hukum materil, suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang saja akan tetapi harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat dihapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
Sifat melawan hukum materil dapat juga dibagi atas:
a) Dalam fungsinya yang negatif, berarti mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.
b) Dalam fungsinya yang positif, menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undanng. Jadi disini diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
[1] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 37
[2] E.Y. Kanter dan S.R.Sianturi, asas-asas hukum pidana di indoneisa dan penerapannya, halaman 211
[3] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 32
[4] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 33
[5] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 33
[6] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 39
[7] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 40
[8] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 40
[9] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 41
[10] A.Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, halaman 54
[11] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 47
[12] A.Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, halaman 55
[13] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 48
[14] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 40
[15] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 51
[16] E.Y. Kanter dan S.R.Sianturi, asas-asas hukum pidana di indoneisa dan penerapannya, halaman 241
[17] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 62
[18] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 64