Sabtu, 10 Desember 2011

DELIK PERKOSAAN


KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasa seksual mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua yaitu:[1]
1.      Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal 285
2.      Tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam pasal 289
Ad1.Pasal 285 KUHP,”Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Inti delik dari pasal 285 ini adalah:[2]
a.      Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
b.      perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan itu tidak dapat melawa dan terpaksa melakukan persetubuhan.
c.       perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak dikawini secara sah.
d.      Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antara pembuat dan perempuan yang dipaksa tersebut.
Unsur dari pasal 285 itu adalah:
  1. Barang siapa 
  2.    Dengan kekerasan 
  3. dengan ancaman kekerasan
  4. memaksa 
  5. seorang wanita (diluar perkawinan
  6.  bersetubuh

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapa pun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis. Dalam pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsure kesalahan. apa “sengaja” atau “alpa”. Tapi dengan dicantumkannya unsure “memaksa” kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukan dengan “sengaja”. Pemaknaan ini lebih condong pada unsure kesengajaan untuk berbuat, artinya ada kecendrungan semi terencana dalam melakukan perbuatan kejahatan. Tanpa didahului oleh niat seperti ini, maka perbuatan itu akan sulit terlaksana.
Ad 1.Unsur “barang siapa” (subyek tindak pidana) dalam KUHP memang tidak ada penjelsan yang expressis verbis. Namun kalau kita simak pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimulkan bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah orang atau manusia.[3]
Ad 2. Unsur “Kekerasan” adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap, mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya.[4]
Ad 3. Unsur ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan. [5]
Ad 4. Unsur “Memaksa” dalam perkosaan menenjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban, pelaku mau/ingin bersetubuh sementara korban tidak mau/ingin. karenanya tidak ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak aka nada kekerasan atau ancaman kekerasan  bila tidak ada memaksa.[6]
Ad 5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita diluar perkawinan” atau tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Dari adanya unsure ini dapat disimpulkan bahwa:[7]
a.       Perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita
b.      Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki atau wanita terhadap wanita.
c.       Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi korban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami terhadap isteri yang kita kenal dengan marital rape (perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya)
Ad 6. Untuk selesainya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh mana kala tidak terjadi persetubuhan. Persetubuhan yakni masuknya penis laki-laki ke dalam kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya.[8]
Ad 2. pasal 289,” Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”.
Bagian inti delik 289 ini adalah
1.      Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
2.      Memaksa
3.      Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
Ad 1. Perbuatan hrus dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
Ad 2. Dengan memaksa dalam arti, bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut tidak akan terjadi bila tidak dilakukan secara paksa dan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
Ad 3. melakukan atau membiarkan terhadp dirinya sesuatu perbuatan yang memaksa dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.
Menurut Noyon-Langemeijer-Remmelink dalam komentar artikel 246 Sr (pasal 289 KUHP), dikatakan ada perbutan antara perbuatan cabul (ontuchtige handeling) dengan melanggar kehormatan kesusilaan (schending van deerbaarheid), karena dalam hal perbuatan cabul orang berpikir mengenai perbuatan yang ditunjukkan pada kontak seksual yang bagaimana pun juga kontak seksual yang bertentangan dengan norma etika sosial, tanpa melakukan perbuatan mengerikan. contoh kasus perbuatan cabul yaitu seorang laki-laki duduk di samping seorang perempuan yang mengendarai mobil, laki-laki itu mengatakan “anda mempunyai barang yang membesar” sambil memegang lutut kiri perempuan itu seperti mau berbuat cabul.
Perbuatan ini sebenarnya secara objektif (pandangan orang belanda) belum merupakan perbuatan cabul kata Noyon-Langemeijer-Remmelink tidak semua sentuhan yang tidak begitu penting dengan sendirinya secara subjektif merupakan perbuatan cabul.
            Menurut komentar para penulis Belanda, perbuatan yang dipaksakan dalam pasal 289, perbuatan cabul, merupakan pengertian umum, yang meliputi perbuatan bersetubuh dari pasal 285 sebagai pengertian khusus. Perbedaan lain dari dua tindak-pidana ini ialah, bahwa:
a.       “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul juga dapat dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki.
b.      “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan diluar perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa isterinya untuk bersetubuh, sedang perkosaan untuk cabul juga dapat dilakukan didalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang suami memaksa isterinya untuk cabul atau seorang isteri memaksa suaminya untuk cabul.[9]



[1] Abdul Wahid, perlindungan terhdap korban kekerasan seksual, Refika Aditama, 2001, hal 109
[2] Andi Hamzah, Delik-delik tertentu di dalam KUHP, Sinar Grafika, 2009, hal 15
[3] Abdul Wahid, Op cit, hal.111
[4] Ibid
[5] ibid
[6] ibid. hal 112
[7] ibid
[8] ibid.
[9] Wirjono prodjodikoro, TINDAK-TINDAK PIDANA TERTENTU DI INDONESIA, Eresco Jakarta, Bandung, 1980, Hal 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar