Rabu, 27 Oktober 2010

tindak pidana dalam hukum pidana


Perkembangan peristilahan tindak pidana di Indonesia
           
            Istilah Peristiwa pidana atau tindak pidana adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda strafbaar feit atau delict. Dalam bahasa indonesia, disamping istilah tindak pidana dikenal pula beberapa terjemahan yang lain seperti:[1]
  1. Tindak pidana (undang-undang No.3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
  2. Perbuatan pidana (prof. mulyatno, pidato dies natalis universitas gadjah mada VI tahun 1955 di yogyakarta
  3. Perbuatan yang dapat di hokum (undang-undang No. 12/Drt tahun 1951, pasal 3, tentang mengubah ordonnantie tijdelijk bijzondere strafbepalingen)

Persyaratan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana
            Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu unsur:[2]
1.      Subjek
2.      Kesalahan
3.      Perbuatan yang bersifat melawan hukum
4.      Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana
5.      Waktu, tempat dan keadaan

Persyaratan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana menurut para sarjana:
D. Simons:[3]
1.      Perbuatan manusia (berbuat atau membiarkan)
2.      Diancam dengan pidana ( strafbaar gesteld)
3.      Melawan hukum ( onrechtmatig)
4.      Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
5.      Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)

Van Hamel:[4]
1.      Perbuatan manusia
2.      Dengan melawan hukum
3.      Dilakukan dengan kesalahan
4.      Patut dipidana

E Mezger:[5]
1.      Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan)
2.      Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif maupun subjektif)
3.      Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
4.      Diancam dengan pidana

Jenis-jenis tindak pidana (delik) yang dikenal
            Dalam hukum pidana dikenal beberapa kategori tindak pidana:
a)      Dolus dan Culpa[6]
Dolus berarti sengaja; delik dolus adalah perbuatan sengaja yang dilarang dan diancam dengan tindak pidana
Contoh:
Pasal 187, 197 245, 263, 310, 338 KUHP,
culpa berarti alpa “culpose delicten” artinya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja, hanya karena kealpaan (ketidakhati-hatian) saja.
Contoh:
Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat (4), 395 dan 360 KUHP
b)      Commissionis, Ommissionis, dan Commissionis per Ommissionem[7]
Commissionis adalah delik yang terjadi kerena seseorang melanggar larangan, yang dapat meliputi baik delik formal maupun delik material.
Contoh:
·        Pasal 362 KUHP
·        Pasal 338 KUHP
      Ommissionis adalah delik yang terjadi karena seseorang melalaikan              
      suruhan (tidak berbuat), biasanya delik formal
       contoh:
·        Pasal 164 KUHP
·        Pasal 165 KUHP
             Commissionis per Ommissionem adalah delik yang pada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, tetapi mungkin terjadi pula apabila orang yang berbuat ( berbuat tapi yang tidak tampak tidak berbuat)
Contoh:
Pasal 338 KUHP.
Seorang ibu yang hendak membunuh bayinya berbuat dengan tidak memberikan susu kepada bayinya, jadi tidak berbuat.

c)      Material dan Formal[8]
Kategori ini didasarkan pada perumusan peristiwa pidana. Delik material adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
Contoh:
Pasal 338 tentang pembunuhan, pasal 351 tentang penganiayaan.
Delik formal adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Contoh:
Pasal 362 tentang pencurian
d)      Without victim dan with victim[9]
Without victim adalah delik yang dilakukan dengan tidak ada korban, sementara with victim adalah delik yang dilakukan dengan adanya korban.
e)      Delik tunggal dan adalah delik berganda (enkevoudigde en samengestelde delicten)[10]
Delik tunggal delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang
Delik berganda adalah delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan atau delik-delik yang pelakunya hanya dapat dihukum menurut suatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku tersebut telah berulang kali melakukan tindak pidana ( yang sama ) yang dilarang oleh undang-undang. Contohnya: delik yang diatur dalam pasal 481 KUHP tentang penadahan sebagai kebiasaan. Pasal 481 (1) KUHP, ”barang siapa menjadikan kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan atau menyembunyikan barang, yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
f)        Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus (voorturende en niet voorturende /aflopende delicten)[11]
Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus. Contohnya delik yang diatur dalam pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan orang lain.
g)      Delik aduan dan delik biasa atau bukan aduan (klachtdelicten en niet klachtdeliten)[12]
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Contohnya terdapat dalam pasal 310 KUHP tentang penghinaan, pasal 284 tentang perjinahan dan lain-lainnya. Delik aduan dapat dibedakan menurut sifatnya, yaitu: delik aduan absolut dan delik aduan relatif.
Delik aduan absolut adalah apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja, misalnya delik yang yang diatur dalam pasal 384, 310, 332 KUHP, sedangkan delik relatif adalah pengadu juga harus menyebutkan orangnya yang ia duga telah meragukan dirinya.
h)      Delik sederhana(eenvoudige delicten)dan delik yang ada pemberatannya (gegualificeerde delicten)[13]
Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya delik yang diatur dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Delik yang ada pemberatnya adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok. Yang karena didalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. Contohnya delik yang diatur dalam pasal 365 KUHP

  1. Menurut KUHP[14]
Didalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu:
a.       Kejahatan
b.      Perbuatan buruk
c.       Pelanggaran
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, tindak pidana itu ada dalam dua jenis saja, yaitu:
a)      Kejahatan (misdrijf)
b)      Pelanggaran (overtrading)

KUHP tidak memberikan ketentuan atau syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua ketentuan yang dimuat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah pelanggaran. Kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran. Selain itu terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang membedakan antara kejahatan dan pelanggran seperti:
a)      Daluarsa bagi kejahatan lebih lama daripada pelanggaran pasal 78,84 KUHP
b)      Pengaduan hanya ada terhadap beberapa kejahatan dan tidak ada pada pelanggaran
c)      Peraturan pada perbarengan adalah berlainan untuk kejahatan dan pelanggaran

Subyek dan Obyek dari Tindak Pidana

Subjek dari tindak pidana, yaitu:[15]
a.       Perbuatan orang
b.      Badan hukum
c.       Perkumpulan atau korporasi
Objek dari tindak pidana, yaitu:
  1. sifat melanggar hukum
  2. kualitas dari si pelaku, misalnya ”keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau ” keadaan sebagai pengurus dari sebuah PT ” di dalam kejahatan menurut  pasal 398 KUHP
  3. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sabagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Bagaimanakah suatu norma dirumuskan dalam undang-undang[16]
            Pada dasarnya, suatu delik mempunyai 5 unsur, yaitu:
1. Subjek
2. Kesalahan
3. Bersifat melawan hukum
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan terhadap  
    pelanggarnya diancam dengan pidana
5. Waktu, tempat dan keadaan

            Namun dalam perumusan pasal-pasal delik, tidak selalu kita temukan kelima-limanya unsur-unsur tersebut dalam pasal satu pasal saja, adakalanya:
1.      Salah satu unsur terdapat dalam pasal-pasal terakhir dari sesuatu undang-undang.
2.      Subjek dari suatu tindak pidana tidak secara tegas ditentukan dalam pasal tersebut, misalnya pasal-pasal 104, 106,107 KUHP dan sebagainya
3.      Unsur kesalahan tidak dicantumkan (seperti hanya dalam tindak pidana pelanggaran pada umumnya)
4.      Unsur tindakan yang terlarang belum ditentukan secara tegas (pasal 122 KUHP, pasal 124 KUHPM)
5.      Hampir semua unsur tidak secara tegas dirumuskan (pasal 351 penganiayaan, pasal 134, 315 penghinaan)
6.      Unsur bersifat melawan hukum tercantum secara tegas, tetapi adakalanya tidak demikian.
            Umumnya perumusan suatu tindak pidana diawali dengan subyek, tetapi terdapat pula perumusan-perumusan yang tidak demikian. Unsur kesalahan ada kalanya ditempatkan pada awal , pertengahan atau pada akhir rumusan. Adanya kenyataan perumusan sedemikian itu sangat penting diketahui terutama ketika melakukan pekerjaan baik sebagai hakim, pengacara, jaksa, untuk mengetahui apakah suatu tindak pidana telah terjadi dan ada orang yang dapat dipidana karena termaksud pertangungjawabannya. Jika ternyata dalam pasal tersebut tidak lengkap kelima unsur maka harus diteliti kelengkapannya.

Perbuatan Bersifat Melawan Hukum[17]
            Istilah perbuatan bersifat melawan hukum diantaranya adalah rechtswirig, unrecht, wederrechtelijk, onrechtmatig. Sedangkan dalam HR tanggal 31 desember 1919, mengistilahkan perbuatan bersifat melawan hukum sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan hukum, sedangkan moelyatno lebih cenderung dengan istilah bertentangan dengan hukum.
            Arti dari perbuatan bersifat melawan hukum tersebut sesuai dengan HR tanggal 31 desember 1919 adalah tindakan yang tidak sesuai dengan hukum yang merusak hak subyektif seseorang menurut undang-undang, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban pelaku dalam undang-undang, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
Jenis-Jenis Perbuatan Bersifat Melawan Hukum[18]
            Sifat melawan hukum dapat dibedakan atas:
1.      Sifat melawan hukum formil
2.      Sifat melawan hukum materill

1. Sifat melawan formil
            Menurut ajaran sifat melawan hukum, apabila ada perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus, hanya berdasarkan suatu undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan
 Hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang.

      2. Sifat melawan hukum materill
            Menurut ajaran sifat melawan hukum materil, suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang saja akan tetapi harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat dihapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
Sifat melawan hukum materil dapat juga dibagi atas:
a)      Dalam fungsinya yang negatif, berarti mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan  undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.
b)      Dalam fungsinya yang positif, menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undanng. Jadi disini diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.











[1] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 37
[2] E.Y. Kanter dan S.R.Sianturi, asas-asas hukum pidana di indoneisa dan penerapannya, halaman 211
[3] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 32
[4] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 33
[5] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 33
[6] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 39

[7] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 40
[8] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 40

[9] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 41
[10] A.Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, halaman 54
[11] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 47
[12] A.Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, halaman 55
[13] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 48
[14] Kansil dan christine S.T kansil, pokok-pokok hukum pidana, halaman 40

[15] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 51
[16] E.Y. Kanter dan S.R.Sianturi, asas-asas hukum pidana di indoneisa dan penerapannya, halaman 241
[17] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 62
[18] Sudarto, Hukum Pidana jilid I A, halaman 64

Selasa, 19 Oktober 2010

Ketentuan Hukum mengenai Hak Anak dalam Konvensi Hak Anak


Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (Convention on The Rights of The Child) Tahun 19893, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan politik, ha-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak
(pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.
Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:
1. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (Survival Rights)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekuensinya menurut Konvensi Hak Anak, negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Di samping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer (Pasal 24). Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program, antara lain:
(1) Melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak;
(2) Menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan;
(3) Memberantas penyakit dan kekurangan gizi;
(4) Menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu;
(5) Memperoleh informasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi;
(6) Mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan;
(7) Mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa:
(1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7);
(2) Hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewarganegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8);
(3) Hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19);
(4) Hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20);
(5) Adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21);
(6) Hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23);
(7) Hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).
2. Hak terhadap Perlindungan (Protection Rights)
Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk diantaranya:
(1) Perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan;
(2) Hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara.
Perlindungan dari ekploitasi, meliputi yaitu:
(1) Perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi;
(2) Perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak;
(3) Perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi;
(4) Perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan;
(5) Perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.
3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (Development Rights)
Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan:
(1) Negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma;
(2) Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak;
(3) Membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan keterampilan bagi anak, dan;
(4) Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Terkait dengan itu, juga meliputi diantaranya:
(1) Hak untuk memperoleh informasi;
(2) Hak untuk bermain dan rekreasi;
(3) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya;
(4) Hak untuk kebebasan berpikir dan beragama;
(5) Hak untuk mengembangkan kepribadian;
(6) Hak untuk memperoleh identitas;
(7) Hak untuk didengar pendapatnya, dan;
(8) Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.
4. Hak untuk Berpartisipasi (Participation Rights)
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi:
(1) Hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya;
(2) Hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan;
(3) Hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan;
(4) Hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.
Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.

2.5 Pengangkatan Anak di Indonesia dan Kaitannya dengan Usaha Perlindungan Anak
            Arif Gosita mendefinisikan pengangkatan anak sebagai suatu tindakan
mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak
keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati
bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang
bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Pengangkatan anak akan mempunyai dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu.
b. Anak yang cacat mental, fisik, sosial.
c. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu
mengelola keluarganya.
d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat.
e. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.
Adapun faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengangkatan anak sebagai berikut:
a. Subyek yang terlibat dalam perbuatan mengangkat anak.
b. Alasan atau latar belakang dilakukannya perbuatan tersebut, baik dari pihak adoptan (yang mengadopsi) maupun dari pihak orang tua anak.
c. Ketentuan hukum yang mengatur pengangkatan anak.
d. Para pihak yang mendapat keuntungan dan kerugian dalam pengangkatan anak.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal paling utama. Selanjutnya, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak.
Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah pelaksanaan pengangkatan anak adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pembinaan mental bagi para orang tua, khususnya menekankan pada pengertian tentang manusia dan anak dengan tepat. Menegaskan untuk tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri yang dilandaskan pada nilai-nilai sosial yang menyesatkan tentang kehidupan keluarga.
b. Memberikan bantuan untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun keluarga sejahtera dengan berbagai cara yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat.
c. Menciptakan iklim yang dapat mencegah atau mengurangi pelaksanaan pengangkatan anak.
d. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama manusia melalui pendidikan formal dan nonformal secara merata untuk semua golongan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 Ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Selanjutnya, berkaitan dengan pengangkatan anak, Pasal 12 Ayat (1) dan (3) undang-undang yang sama menuliskan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang tersebut
merupakan suatu ketentuan hukum yang menciptakan perlindungan anak
karena kebutuhan anak menjadi pokok perhatian dalam aturan tersebut.
Selama ini memang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
spesifik mengatur mengenai pengangkatan anak, kecuali bagi Warga Negara
Indonesia (WNI) keturunan Cina, yaitu dengan Staatsblad 1917 Nomor 129. Di samping Undang-undang Kesejahteraan Anak, peraturan lain yang
mencantumkan ketentuan berkaitan dengan pengangkatan anak diantaranya
adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Pasal 5 Ayat (2) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa anak WNI yang
belum berusia lima tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga
negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai WNI. Mengingat belum terbentuknya peraturan mengenai pengangkatan anak, maka sebagai pedoman digunakan antara lain Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 yang kemudian disempurnakan oleh SEMA Nomor 6 Tahun 1983. Salah satu isi dari SEMA Nomor 6 Tahun 1983 menentukan bahwa warga negara asing (WNA) yang akan mengadopsi anak WNI harus sudah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia selama minimal tiga tahun. Selain itu, calon orang tua angkat harus mendapat izin tertulis dari Menteri Sosial. Pengangkatan anak harus dilakukan melalui yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial untuk bergerak di bidang pengangkatan anak. Pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan orang tua kandung WNI dengan calon orang tua WNA tidak diperbolehkan. Seorang WNA yang belum atau tidak menikah tidak boleh mengangkat anak WNI dan calon anak angkat WNI harus berusia di bawah lima tahun.
Bagi Indonesia, pengangkatan anak atau adopsi sebagai suatu
lembaga hukum belum berada dalam keadaan yang seragam, baik motivasi
maupun caranya. Karena itu, masalah pengangkatan anak atau adopsi ini
masih menimbulkan masalah bagi masyarakat dan pemerintah.
Terutama
dalam rangka usaha perlindungan anak sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.





Hukum Nasional mengenai Hak Anak


Adapun hukum nasional yang menyangkut mengenai anak terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
* Konstitusi
·        UUD 1945 pasal 28B ayat(2); 28C; dan 34 ayat(1)
* Undang-Undang
·        Undang-undang No. 4 Tahun 1979 (Lembaran Negara 3143) tentang Kesejahteraan Anak.
·        Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
·        Undang-undang No. 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1930 No. 29 tentang Kerja Paksa (Staatsblad Hindia Belanda tahun1933 No. 261) dan Konvensi ILO Tahun 1957 No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
·        Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1973 No. 138 tentang Batas Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.
·        Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
·        Undang-undang No. 1 tahun 2000 (Tanggal 8 Maret 2000) tentang Konvensi ILO 1999 No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Pekerja Anak.
·        Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).
·        Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, 12 (2), dan 13 (3)).
·        Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang RatifikasiI CCPR (Pasal 14 (1), 18 (4), 23 (4), dan 24)).
* Keputusan Presiden
·        Keppres No. 36 Tahun 1990 (Tanggal 25 Agustus1990) tentang Ratifikasi CRC atau disebut sebagai KHA.
·        Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang Memasukkan Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (2006).
·        Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk PekerjaanTerburuk Untuk Anak
·        Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA).
·        Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A).
Undang-undang yang memberikan perlindungan kepada anak sudah cukup banyak, tetapi dalam implementasi peraturan perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan antara lain:
(a) Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang didasarkan pada UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak masih belum terwujud;
(b) Upaya penegakan hukum (Law Enforcement) masih mengalami kesulitan;
(c) Harmonisasi berbagai undang-undang yang memberikan perlindungan
kepada anak dihadapkan pada berbagai hambatan; dan
(d) Sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada masyarakat belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik.

Batasan mengenai Anak menurut Hukum Positif di Indonesia


Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak.
Batasan umur seseorang yang masih dalam kategori anak, berdasarkan beberapa peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah sebagai berikut:
·        Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan".
·        Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990, "Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi yang ditentukan
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal".
·        Di samping itu menurut Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".
·        Undang-undang RI. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberi batasan yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak perempuan berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun.
·        Undang-undang RI. No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”
·        Undang-undang RI. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
·        Undang-undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas)  tahun.
·        Undang-Undang RI. No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD: “Usia pemilih minimal 17 (tujuh belas) tahun.”
·        Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.
Dari beberapa pengertian dan batasan umur anak sebagaimana tersebut di atas yang cukup bervariasi tersebut, kiranya menjadi perlu untuk menentukan dan menyepakati batasan umur anak secara jelas dan lugas agar nantinya tidak terjadi permasalahan yang menyangkut batasan umur anak itu sendiri. Dalam lingkup Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undnag tentang Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan belum pernah menikah.

Jenis-Jenis Yurisdiksi yang Dikenal dalam Hukum Pidana Indonesia


Yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya terdapat pula batas-batas ruang lingkup kekuasaan itu untuk membuat, melaksanakan, dan menerapkan hukum kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.
            Didalam doktrin terdapat beberapa asas yang biasanya juga disebut “asas-asas tentang berlakunya undang-undang pidana menurut tempat” yaitu:
  1. Asas territorial atau territorialiteits-beginsel
  2. Asas kebangsaan atau nationaliteits-beginsel
  3. Asas perlindungan atau beschermings-beginsel
  4. Asas persamaan atau universaliteits-beginsel

1.      Asas teritorial
            Asas ini terdapat dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi: ”aturan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana diwilayah Indonesia”. Setiap orang berarti baik orang Indonesia, maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana. Dalam melakukan tindak pidana itu orang tidak perlu berada diwilayah Indonesia. Seseorang yang ada diluar negeri dapat pula melakukan delik di Indonesia, hal ini merupakan persoalan mengenai tempat terjadinya delik. Asas teritorial ini diperluas dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal pasal 3 KUHP, yang menyatakan bahwa ”peraturan pidana Indonesia dapat diterapkan kepada setiap orang yang berada diluar negeri, yang melakukan suatu tindak pidana dalam perahu Indonesia. Menurut prof Simons, berlakunya asas ini didasarkan pada asas kedaulatan suatu negara, yang meliputi seluruh wilayah negara yang bersangkutan, sehingga setiap orang baik yang secara tetap maupun yang untuk sementara berada dalam wilayah negara tersebut, harus menaati dan menundukkan diri pada segala perundang-undangan yang berlaku di negara itu. Wilayah kekuasaan suatu negara meliputi seluruh wilayah daratan yang terdapat dalam negara tersebut, yang batas-batasnya didarat di manapun di dunia ini ditentukan dalam perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh negara tersebut dengan negara atau negara-negara tetangganya, selanjutnya meliputi juga laut sekitar negara-negara tersebut atau sekitar pulau-pulau yang terdapat di dalam negara itu hingga jarak 3 mil laut dari pantai.
            Menurut beberapa ahli wilayah kekuasaan suatu negara itu bukan hanya meliputi wilayah-wilayah daratan dan laut teritorial negara yang bersangkutan, melainkan juga meliputi wilayah udara di atas wilayah daratan dan wilayah laut teritorial. Sehingga apa yang terjadi dalam pesawat udara atau didalam balon udara yang sedang berada diatas wilayah daratan atau diatas laut teritorial suatu negara itu, haruslah dianggap sebagai telah terjadi didalam wilayah negara yang bersangkutan.

2.      Asas Kebangsaan 
            Asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia, yang melakukan tindak pidana baik dalam negeri maupun diluar negeri. Mengenai orang Indonesia yang melakukan tindak pidana didalam negeri tidak dipersoalkan. Kalau ia melakukan tindak pidana diluar negeri maka ada ketentuan, yang terdapat dalam pasal 5 KUHP.
Disini disebut dua golongan tindak pidana :
a.       Kejahatan terhadap keamanan negara, terhadap martabat presiden, penghasutan, penyebaran surat-surat yang mengandung penghasutan, membuat tidak cakap untuk dinas milter, bigami dan perompakan
b.      Tindak pidana yang menurut undang-undang Indonesia dianggap sebagai kejahatan yang dinegeri tempat pidana dilakukan itu diancam dengan pidana.
            Ayat 2 dari pasal 5 merupakan perluasan, misalnya ada warga negara ni negeri A setelah melakukan tindak pidana, kemudian datang di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia (setelah naturalisasi) ia dapat diadili menurut undang-undang pidana Indonesia. Tindak pidananya harus berupa kejahatan bagi undang-undang pidana Indonesia. Pasal 6 memperlunak asas kebangsaan itu, mengenai tindak pidana golongan kedua itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan pidana mati menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan.

3.      Asas perlindungan         
            Asas ini memuat prinsip bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik itu dilakukan oleh warga negara Indonesia atau bukan yang dilakukan di luar Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu terbagi dalam 5 kategori (golongan):
1.      Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat presiden
2.      Kejahatan tentang materai atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
3.      Pemalsuan surat-surat hutang dan sertifikasi hutang atas beban Indonesia, daerah atau sebagian dari daerah, surat bunga yang termaksud surat-surat itu, dan juga surat-surat dikeluarkan untuk mengganti surat-surat itu, atau dengan sengaja mepergunakan surat palsu atau yang dipalsukan tarsebut, seolah olah tulon tersebut tidak dipalsukan.
4.      Kejahatan jabatan yang tercantum dalam titel XXVIII buku ke II yang dilakukan oleh pegawai negeri Indonesia di luar negeri
5.      Kejahatan pelayaran yang tercantum dalam titel XXIX buku ke II, pelanggaran pelayaran dan juga tindak pidana yang tercantum dalam peraturan-peraturan umum tentang surat-surat laut dan kapal di Indonesia dan ordonansi kapal laut tahun 1927, yang dilakukan oleh nahkoda dan penumpang alat pelayar Indonesia yang ada diluar negeri, baik itu berada di dalam kapal maupun diluar kapal
           
Asas perlindungan ini melindungi kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan individu, oleh karena itu asas ini disebut juga asas nasional pasif.

4. Asas persamaan[
Menurut asas persamaan, setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam usaha memelihara keamanan dan ketertiban dunia dengan negara-negara lain. Walaupun dengan sangat terbatas, asas ini juga dianut oleh undang-undang kita, yaitu seperti yang terdapat antara lain dalam pasal 438 dan 444 KUHP, yang mengancam dengan hukuman-hukuman terhadap siapa saja yang telah bersalah melakukan pembajakandi laut dengan segala akibat yang mungkin dapat timbul karena perbuatan tersebut. Asas persamaan ini juga dapat kita jumpai dalam ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 4 angka 2 dan pasal 4 angka 4 KUHP sejauh kepentingan-kepentingan negara lain juga dilindungi oleh ketentuan-ketentuan pidana tersebut. Pasal 4 angka 2 KUHP itu semula dibentuk semata-mata untuk melindungi mata uang dan uang kertas negara ataupun uang kertas yang telah dikeluarkan oleh bank sirkulasi, akan tetapi sejak tahun 1932 yang harus dilindungi bukan hanya mata uang dan uang kertas negara atau uang kertas yang dikeluarkan oleh bank sirkulasi di indonesia saja, melainkan juga mata uang dan uang kertas negara-negara lain, sehingga tidak salah kiranya apabila orang berpendapat bahwa pasal 4 angka 2 KUHP itu mengandung asas persamaan. Dengan demikian, maka apabila ada orang asing yang memalsukan mata uang atau uang kertas negara asalnya indonesia, orang tersebut akan dituntut dan diadili menurut undang-undang pidana yang berlaku di negara ini.