Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat Kuasa.
Surat Kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu Kuasa yang diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis.
Kuasa secara lisan diatur dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan secara lisan namun dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti autentik.
Disamping itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan kewenangan mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa dirugikan.
Karena hal-hal tersebut diatas maka guna menghindari adanya perselisihan mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada umumnya lebih menyukai surat kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat pelimpahannya dapat dilakukan secara umum [1] dan dapat dibuat dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat Kuasa ini dapat dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris. Dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kuasa/ penerima kuasa lebih menyukai pemebrian kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang autentik. Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi kekuatan bukti yang sempurna juga pihak [pemberi kauas tidak mudah untuk mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima kuasa. Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya kepada penerima kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus dilakukan dengan suatau gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ino jarang terjadi karena si pemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan mengahdapi satu masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada penerima kuasanya tersebut.
Maka diharapkan dengan bentuk tertulis jelas dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan dalam suatu surat kuasa.
Dengan demikian semakin menjadi jelas batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan.
Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada penerima kuasa secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.
Surat kuasa secara tertulis dibagi atas dua macam , pertama surat kuasa umum dan surat kuasa khusus.
Dalam kaitan ini yang akan diuraikan adalah mengenai surat kuasa yang dipakai dalan praktek baik di Pengadilan-Pengadilan, Kepolisian maupun Kejaksaan. Surat Kuasa (khusus) perlu dicermati dengan baik karena kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan membuat batal demi hukum apa yang telah dikuasakan tersebut.[2]
Kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil akan membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak dapat diterima oleh Pengadilan.
Bahkan ada dalam perkara kepailitan dimana Penasehat Hukumnya begitu yakin akan keabsahan Surat kuasanya sehingga dalam permohonan pailit yang diajukannya baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung ternyata hanya melulu membahas dan lebih menekankan pada keabsahan suarat kuasa (khusus) yang dibuat tersebut, walaupun pada akhirnya dua permohonan pailitnya akhirnya kandas ditengah jalan dimana Mahkamah Agung menyatakan permohonan pailit yang diajukan tak dapat diterima karena tidak dipenuhinya persyaratan keabsahan yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999).[3]
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November 1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat tanggal 31 Januari 19784 No. 516.1983/G yang menyatakan gugatan Penggugat tak dapat diterima.
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut antara lain menilai judeks fakti telah salah menerapkan hukum.
Dan bahwa pasal 123 HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama Pengadilan Negri hukum mana gugatan harus diajukan.[4]
Walaupun dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa yang harus dimuat dalam suatu suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat:[5]
1. Nama para pihak, subjek (identitas);
2. Pokok Sengketa atau obyek sengketa
3. Nama Pengadilan
4. Apa berlaku juga untuk banding/kasasi
Ad.1 Nama Para Pihak
Untuk menentukan para pihak dalam pembuatan surat kuasa juga sangat penting sekali, karena kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak memberi kuasa dalam suatu surat kuasa juga dapat membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Kekekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu badan hukum akan menimbulkan masalah dalam gugatan.
Seperti putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tanah adat terhadap Gubenur Kepala daerah Irian Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali putusan kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut dibatalkan karena ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus digugat. Padahal proses gugatan itu telah berlangsung lebih dari lima tahun, maka hal ini sungguh ironis sekali.
Mengenai tidak dipenuhi keabsahan surat kuasa khusus dapat membuat kandas suatu gugatan. Pihak yang bertanggung jawab dalam membuat surat kuasa khusus tentunya adalah pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat kuasa yang tidak sesuai dengan keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga dapat mengakibatkan tidak diterimanya suatu gugatan. [6]
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka dalam hal ini perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a. Apakah pemberi kuasa merupakan orang perorangan ?
Apabila yang memberikan orang perorangan (persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan adalah si pemberi kuasa termasuk dalam pengertian cakap hukum diantaranya dia adalah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan, tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan berjalan pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua ahli waris untuk melajutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.[7]
b. Apakah pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak berbadan hukum atau yang berbadan hukum ?
Seperti kita ketahui bersama bahwa pemberi kuasa dapat merupakan suatu kumpulan orang –orang namun tidak berbadan hukum seperti Persekutuan Perdata (matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk persekutuan perdata banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, law firm (kantor hukum) .
Pada bentuk persekutuan perdata maupun firma maka yang berhak memberi kuasa adalah mereka para sekutu yang tercantum dalam akta pendirian persekutuan tersebut. Sedangkan pada CV maka pemberi kuasa adalah sekutu komanditer.
Apabila pemberi kuasa berbentuk suatu badan hukum maka harus dibedakan antara badan hukum yang berlatar belakang ketentuan sebagian hukum publik dan sebagian hukum privat dalam hal ini hukum perdata, juga ada badan hukum yang murni tunduk dan diatur dalam ketentuan hukum perdata.
Mengenai badan hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang dapat memberi kuasa masing-masing adalah Kepala Jawatan untuk
Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan.
Sedangkan untuk badan hukum lain yang murni tunduk pada hukum perdata adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Persroan Terbatas dibedakan anatara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah melakukan go public masih tregantung pada para pemegang sahamnya sehingga dapat berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak dibidang Perbankan.
Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan perundangan pasar modal, Perbankan.
Seperti misalnya dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang dapat memberikan kuasa adalah direksi yang ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada pihak lain sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.
Hal ini pernah terjadi dalam perkara permohonan kepailitan dimana pihak kuasa hukum tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan baru yang telah berkembang serhingga dalam permohonan pailit yang dilakukan tidak memperoleh sasaran artinya permohonan pailitnya kandas ditengah jalan karena syarat formil dalam suatu suarat kuasa khusus yaitu siapa yang berwenang dalam memberikan kuasa tidak diperhatikan. .( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999).[8]
Sedangkan Penerima Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi Sarjana Hukum dan telah mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setempat yang dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang dikenal sebagai Penasehat hukum atau Advokat. Untuk Pengacara yang perijinannya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat setelah memenuhi persyaratan tertentu maka Pengacara yang dapat ijin tersebut hanya dapat beracara di Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah Pengadilan Tinggi lain kadang-kadang dapat juga tapi dengan ijin insidentiil dari Pengadilan Tinggi tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut tidak merata, karena ada Pengadilan Tinggi yang dapat memberikan ijin insidentiil tapi ada yang tidak dapat. Namun ijin praktek Pengacara sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung hanya dapat beracara di wilayah Pengadilan Tinggi setempat saja.
Untuk Penasehat Hukum dimana perijinannya diberikan oleh Menteri Kehakiman(dulu) dengan melalui persetujuan dari Mahkamah Agung lebih dulu dengan memenuhi persyaratan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi setempat maka barulah ijin diberikan.
Ijin ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Namun bila praktek di Pengadilan Tinggi diluar wilayah Pengadilan Tinggi yang menjadi domisili Penasehat hukum tersebut maka sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Penasehat hukum tersebut hanya cukup memberitahukan rencana beracaranya saja diwilayah Pengadilan Tinggi yang dituju tersebut dengan beberapa tembusannya.
Dalam praktek Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang, karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa yang namanya tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut.
Konsekwensinya adalah dalam membuat gugatan bila sebagai Penggugat atau membuat Jawaban sebagai Terrgugat maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus menandatangani surat-surat tersebut .
Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu penerima kuasa sedang menghadiri persidangan di luar kota tentunya penandatangan surat tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal persidangan telah ditentukan.
Maka untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa. Dengan dimasukannya klausul tersebut maka bila ada salah satu atau lebih penerima kuasa tidak dapat menandatangani baik itu gugatan atau Jawaban karena sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.
Ad.b. Obyek gugatan
Kemudian obyek dari gugatan juga harus ditentukan dan dituliskan dalam kolom khusus tersebut misalnya apakah gugatan itu berkaitan dengan wan prestasi atau cidera janji ataukah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Dalam praktek mengenai banyaknya kasus sungguh bervariasi misalnya ada perkara yang berkaitan dengan penyerobotan, sewa menyewa, sengketa hak milik, kredit macet dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan dalam persengketaan yang dianggap merugikan hak perdata salah satu pihak terdiri dari dua hal sebagaimana diatas yaitu cidera janji/wan prestasi dan perbuatan melawan hukum. Suatu perkara dianggap merupakan suatu sengketa wan prestasi bila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hubungan hukum antara para pihak biasanya dibuat secara tertulis lebih dulu. Sehingga bila ada hal-hal yang dilanggar sebagaimana yang telah tertuang dalam perjajian itu maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa wan prestasi/cidera janji. Sedangkan bila anatara para pihak tidak ada hubungan hukum seperti suatu perjanjian dinatara mereka, namun kemudian ada pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak dan kemudian dianggap merugikan hak perdata pihak lain dimana pelanggaran itu dianggap tindakan yang melanggar peraturan hukum yang berlaku maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa perbuatan melawan hukum.
Ad.c. Nama Pengadilan
Pada kolom khusus ini maka pengisian hak-hak apa saja yang dimasukkan harus benar benar diperhatikan, apakah dalam hal ini sebagai Penggugat atau sebagai Tergugat juga harus ditegaskan. Demikian pula juga harus diperhatikan bila sebagai Penggugat maka untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini akan diajukan ini juga penting. Karena salah menentukan pengadilan akan timbul bermacam-macam eksepsi baik yang merupakan eksepsi yang absolut atau eksepsi yang relatif atau mungkin berkaitan dengan eksepsi-eksepsi yang berkaitan dengan pokok perkara. Untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini diajukan biasanya mengacu pada dua hal yaitu ketentuan pada pasal 118 HIR bila para pihak tidak mencantumkan secara khusus dalam suatu perjanjian yang telah disepakati. Namun bila para pihak yang bersengketa telah menyepakati dalam perjanjian diantara mereka adanya ketentuan yang mengatur mengenai tempat penyelesaian misalnya di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka walau para pihak tidak berada diwilayah di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka gugatan tetap diiajukan di Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Akan tetapi bila diantara para pihak yang bersengketa tidak ada perjanjian tertulis tentang penyelesaian bila terja di sengketa maka gugatannya diajukan dengan mengacu pada pasal 118 HIR.
Kemudian pada tahap berikutnya adalah menentukan siapa saja para pihak yang akan digugat. Untuk menentukan para Tergugat juga kadang berkaitan dengan penentuan di Pengadilan mana gugatan itu diajukan terutama bila ada Tergugat yang paling dianggap menimbulkan kerugian bagi Penggugat berada bersama sama dengan para Tergugat lainnya. Maka para Tergugat lainnya yang secara tidak langsung dianggap turut terlibat maka harus juga dimasukan sebagai Turut Tergugat. Hal ini untuk menghindari adanya eksepsi yang mungkin diajukan oleh lawan tentang eksepsi kurangnya para pihak sebagaimana yang telah diputus dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.mengenai persona standi dari pihak-pihak yang digugat juga memerlukan kecermatan dan kalau perlu membuat sedikit investigasi untuk menentukan status dan alamatnya secara tepat. Dalam menentukan status pihak Tergugat juga harus dipahami sebelumnya mengenai apakah Tergugat dituntut sebagai pribadi atau sebagai (Direksi) suatu badan hukum tertentu, atau mungkin dituntut dalam 2 kapasitas sebagaimana diatas. Dalam menentukan alamat maka kita harus yakin bila si Tergugat memang bertempat tinggal atau berdomisili di tempat tersebut. Bila si Tergugat mempunyai beberapa alamat maka alamat yang terakhir sebagai tempat domisili terakhir. Namun kadang-kadang seluruh alamat Tergugat dalam hal tertentu ditulis semua agar gugatan dapat diajukan pada Pengadilan Negri dimana akan banyak asset dari para Tergugat yang harus disita dalam pengajuan gugatan tersebut.
Ad.d Hak Banding dan Kasasi
Dalam mencantumkan klausul hak banding dan kasasi ini memang tidak ada yang seragam diantara kantor hukum atau law firm. Ada kantor yang secara standar dalam surat kuasanya selalu mencantumkan adanya hak untuk menyatakan banding atau hak untuk menyatakan kasasi ini. Tapi ada pula kantor hukum lain tidak mencantumkan hak banding untuk pada saat berperkara di tingkat Pengadilan Negri. Dalam praktek setelah perkara diputus maka pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan isi putusan itu sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan undang-undang akan mengajukan hak bandingnya untuk putusan pengadilan negri dan hak mengajukan kasasi untuk putusan Pengadilan Tinggi. Hak banding ini dimasukan tersendiri dalam suatu surat kuasa yang baru. Sebenarnya bisa saja memakai surat kuasa yang lama sepanjang dalam surat kuasa tersebut dicantumkan hak banding atau hak kasasi. Namun kadang-kadang ada hambatan dimana pada saat telah diputus di tingkat Pengadilan Negri ternyta panitera pengganti belum melaporkan adanya putusan ini pada bagain banding dan kasasi. Kadang-kadang berkas perkara tertinggal atau masih ditangan panitera pengganti dengan alasan sedang mengetik putusan. Sedangkan dalam pengajuan banding atau kasasi tersebut harus ditunjukan suarat kuasa aslinya bukan salinannya. Oleh karena itu untuk menghindari kesuulitan tehnis administrasi tersebut biasanya para Pengacara lebih memilih membuat suarat kuasa khusus baru, sekaligus sebagai bukti bahwa kliennya tetap masih mempercayainya untuk membantu perkaranya di tingkat tersebut.
Sebenarnya masih ada hak-hak penerima kuasa yang harus dicantumkan dalam setiap surat kuasa. Seperti hak untuk mengajukan dan menerima Jawaban, Replik, Duplik, saksi-saksi dann bukti-bukti, kesimpulan dan termasuk mendengarkan putusan. Kadangkala terjadi suatu debat seru antara kuasa hukum dengan majelis hakim mengenai hak-hak tertentu yang tidak dicantumkan terutama bila si kuasa hukum ini adalah kuasa subtitusi. Maka apabila ada hak –hak tertentu tidak dicantumkan seperti hak menerima Jawaban, Duplik dsb maka Hakim akan menolak permintaan kuasa hukum menerima Jawaban atau Duplik bila tidak dicantumkan hak-hak tersebut. Sering terjadi ternyata dalam kuasa subtitusi hanya dicantumkan hak untuk menerima Jawaban saja sehingga pada sidang berikutnya kuasa hukum tersebut ditolak hadir dalam persidangan karena tidak ada hak untuk tahap Replik atau Duplik, apalagi bila perkara tersebut menyangkut masalah gugatan perceraian .
Demikian pula dengan hak untuk membuat dan menandatangani dading/perdamaian serta mencabut perkara dari rol sebaiknya hak ini dicantumkan. Karena pernah terjadi perdamaian yang telah ditandatangani kuasa hukum diingkari oleh klienya dengan alasan dia tidak memberikan hak tersebut. Hal ini kadang-kadang bisa membuat si kuasa hukum digugat kliennya di Pengadilan dan biasanya sekaligus ingin membatalkan apa yang telah disepakati dalam akta dading sebelumnya.Hak untuk mencabut perkara dari rol ini bila tidak dicantumkan akan membuat si kuasa hukum tidak dapat mencabut perkara begitu saja bila telah terjadi suatu perdamaian dengan pihak lawan. Perkara tersebut baru dapat dicabut bila ada kuasa baru yang mencantumkan hak tersebut. Sedangkan hak rekopensi sangat penting untuk dicantumkan terutama bila kita sebagai Tergugat dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan balik atau yang dikenal dengan gugatan rekopensi. Kalau si kuasa hukum sebagai kuasa Tergugat tidak mencantumkan hak tersebut kemudian dalam Jawabannya dia membuat dan mengajukan pula gugatan rekopensi, maka gugatan rekopensi ini tidak mempunyai dasar hukum karena si kuasa hukum tidak mempunyai hak untuk mengajukan hal itu. Dengan perkataan lain gugatan rekopensinya menjadi batal demi hukum. Hak penting yang lain yang harus dicantumkan adalah hak subtitusi baik sebagian atau seluruhnya. Dalam praktek kadang-kadang dalam perkara tertentu misanya menyangkut peraturan pertanahan maka ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dikuasai secara sempurna kemudian ditengah perjalananan persidangan ada orang yang dianggap menguasai hal itu maka dengan adanya hak subtitusi ini akan memberikan kemudian bagi si kuasa hukum untuk melimpahkan kuasanya baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain yang dipercayai tersebut. Atau bisa juga dalam jadwal persidangan tersebut ada beberapa perkara yang ditangani secara bersamaan sehingga mau tidak mau harus dikuasakan kepada pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam surat kuasa semula.
Setelah surat kuasa tersebut dibuat dan isinya telah dianggap cukup oleh baik Pemberi Kuasa maupun Penerima Kuasa maka sebagai perwujudan terjadinya pendelegasian wewenang tersebut diwujudkan dalam penandatanganan surat kuasa khusus tersebut oleh kedua pihak. Dan penandatanganannya dilakukan diatas meterai yang berlaku sesuai dengaan ketentuan pemeteraian.
Memang antara satu Kantor Hukum/Law Firm dengan kantor lainnya tidak ada semacam standarisasi mengenai hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam surat kuasa. Demikian pula Mahkamah Agung-Republik Indonesia dalam beberapa putusannya mengenai surat kuasa tidak pernah memberikan suatu standarisasi surat kuasa. Namun dari hasil Raker Mahkamah Agung-Republik Indonesia paling tidak dalam surat kuasa dimasukan 4 hal sebagaimana diatas.
[1] Surat Edaran Menteri Dalam Negri No. 14 Tahun 1982 yang ditujukan kepada PPAT seluruh Indonesia.
[2] Putusan MA-RI No.531K/Sip/1973 tgl.25 Juli 1974 yang memberi fatwa: “Surat kuasa umum tak dapat dipakai sebagaimana surat kuasa khusus untuk berperkara diPengadilan”.
[3] Tim Redaksi Tatanusa . Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara kepailitan. Jakarta:PT. Tatnusa, cet. 1, thn. 1999.
[4] Soebijakto. Makalah yang disampaikan dalam Program Pendidikan Lanjutan Hukum Bidang Konsultan Hukum dan Kepengacaraan, September 1992-Januari 1993. FHUI.
[5] Ali Budiarto. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang Piutang.Jakarta: Ikahi, Cet. I., April 2000.
[6] Putusan Pengadilan Negri Suarabaya tanggal. 20 Maret 1979 No. 145/1978/Perdata jo Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal. 19 Maret 1984 No. 175/1983/Perdata jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal. 18 Februari 1988 No. 488K/Pdt/1986.
[7] Putusan MA-RI No. 431 K/Sip/1973 tgl. 9 Mei 1974.
[8] Loc. Cit.Tim Redaksi Tata Nusa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar